Menu

Mode Gelap
DPRD Lampung Sahkan APBD Perubahan 2025, Defisit Ditutup dari SiLPA Gubernur Lampung Janji Optimalkan Sumber Pendapatan Daerah Fauzi Heri Apresiasi Capaian Ekonomi Lampung: Tertinggi di Sumatera, Angka Kemiskinan Turun Amrullah Soroti Ketimpangan Anggaran Sektor Pangan dan Ekonomi Fauzi Heri Dukung Pernyataan Gubernur Lampung, Kunci Daya Saing Singkong Ada di Produktivitas Ekosistem Wisata Berkelanjutan Yogyakarta Jadi Model Inspirasi bagi Lampung

Cerita

Rindu Kampung (Bagian 7)

badge-check


					Rindu Kampung (Bagian 7) Perbesar

Baru setahun hidup di kota, Lanai sudah seperti ikan gabus yang ditaruh di akuarium kecil—sesak dan rindu kampung halaman. Ia ingat kampungnya yang hangat, teman-temannya yang seru, dan sungai yang jernih di belakang rumah.

Kalau sore, mereka biasanya main di sungai. Kadang berenang, kadang menangkap burung ayam-ayaman. Serunya, burung yang sudah ditangkap dilempar ke sungai lagi, terus mereka semua rebutan menangkap burung itu sambil loncat ke air. Permainan ini bukan cuma uji ketangkasan, tapi juga keberanian.

“Kenapa burung itu dilempar lagi, sih?” tanya teman Lanai waktu pertama kali main.

“Supaya dia nggak lupa cara terbang,” jawab Lanai santai.

Anak-anak kampung Lanai kreatif banget. Mainan mereka bikin sendiri dari bahan-bahan seadanya. Mobil-mobilan dari kayu bekas penggergajian, pistol-pistolan dari pelepah pisang. Kalau di kota anak-anak beli mainan di toko, di desa Sungai Cambai, toko mainan itu namanya hutan.

“Kenapa nggak bikin mainan dari plastik?” tanya salah satu teman baru Lanai di kota.
“Karena plastik di kampung kami cuma ada di kantong ibu,” jawab Lanai polos.

Di Sungai Cambai, listrik cuma hidup beberapa jam dari genset, itu pun sebelum tidur. Yang nggak punya genset? Pakai lampu teplok. Gelap-gelapan jadi biasa.

“Lanai, kenapa malam di kampung gelap banget?” tanya temannya dari kota.

“Karena malam memang waktunya istirahat, bukan nonton TV,” jawab Lanai sambil nyengir.

Kalau mau ke kota, Lanai nggak perlu jalan kaki jauh seperti orang-orang lain. Ayahnya punya perahu motor bernama Jujur Harapan. Mesin perahu itu suaranya seperti orang batuk nggak selesai-selesai, tapi lumayan cepat sampai tujuan.

“Yah, kenapa nama perahunya Jujur Harapan?”

“Karena kalau kita nggak jujur, harapan kita bisa karam di tengah sungai,” jawab ayahnya sambil nyengir.

Perahu itu dipakai untuk mengangkut hasil kebun, kayu, dan ikan. Jadi, kalau mau ikut naik, harus sabar berbagi ruang dengan karung-karung dan keranjang.

Lanai juga ingat jalan darat ke kota. Salah satunya lewat Gaingan Buaya, tempat buaya nongkrong santai di lumpur. Orang desa bilang, buaya di sana punya hukum adat: “Yang masuk wilayah kami, bayar pakai nyawa.” Jadi, nggak ada yang lewat situ kalau malam hari.

Di desa, semua rumah menghadap sungai. Air sungai dipakai buat mandi, mencuci, bahkan masak. Tapi herannya, jarang ada orang yang sakit.

“Mungkin karena kami mandi sambil berdoa,” kata Lanai bercanda, waktu temannya di kota bertanya kenapa air sungai nggak bikin mereka sakit.

Hidup di kota jauh berbeda. Lanai sering duduk di sudut rumah nenek, memandangi kalender yang gambarnya pemandangan alam, lalu matanya berkaca-kaca.

“Kamu kangen kampung ya, Nak?” tanya nenek sambil memeluknya.

Lanai mengangguk. “Iya, Nek. Lanai rindu semuanya. Ayah, ibu, teman-teman, sungai…”

Nenek tersenyum kecil, meskipun hatinya berat. “Kalau rindu sih nggak apa-apa. Tapi jangan nangis terus. Kamu harus kuat, supaya lekas sembuh,” katanya sambil mengusap kepala Lanai.

Lanai berusaha kuat, meski kadang sulit. Ia tahu penyakit ginjalnya membuat nenek dan semua orang khawatir. Tapi ia ingin membuktikan, kalau dia bisa bertahan.

“Lanai, kamu kok makin kurus sih?” tanya Nenek.

“Biar muat kalau diajak masuk surga, Nek,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Setiap kali rindu kampung melanda, Lanai memejamkan mata, membayangkan sungai dan tawa teman-temannya. Dalam hatinya ia berjanji, suatu hari, ia akan kembali ke sana, apa pun yang terjadi.

Dan sungai itu? Masih mengalir seperti dulu, membawa kenangan yang tak pernah usang.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Saung Bude: Kuliner Nusantara yang Menggoda di Selatan Lampung

20 Maret 2025 - 15:06 WIB

Menteri Perdagangan: Impor Tapioka Diperketat, Petani Singkong Didorong Berinovasi

6 Februari 2025 - 08:26 WIB

Perjalanan Pulang yang Penuh Cerita (Bagian 12)

9 Januari 2025 - 01:37 WIB

Bukan Akhir Cerita, Tapi Awal Makan Enak Lagi (Bagian 11)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Lanai dan Cerita Hidupnya tanpa Rasa Asin (Bagian 6)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Trending di Cerita