“Terjaga di pagi yang dingin itu, Lanai merasa seperti terlahir kembali. Kalau bukan karena doa, mungkin karena obat dari dokter yang entah kenapa sekarang rasanya kayak permen pandan, bukan lagi pahit. Hidup ini memang ajaib. Hal-hal pahit bisa berubah jadi manis, termasuk rasa suntikan yang sekarang seperti belaian ibu—ibu yang juga sangat dia rindukan. Kalau begini terus, mungkin rasa marah mantan juga bisa jadi manis, asal jangan manis kayak janji politisi.”
Lanai menatap hari baru dengan tekad yang lebih besar dari tubuhnya sendiri. Satu tahun lagi umurnya, tapi dia merasa seperti punya kekuatan seribu tahun. Di sekolah, nilainya yang biasa-biasa saja mulai naik. Semester ini, dia harus menghadapi ujian EBTANAS.
“Ini bukan ujian, ini konspirasi,” pikir Lanai, menatap papan tulis hitam yang sudah tua tapi masih semangat menemani perjuangannya. Di bawah papan tulis itu, kapur tersusun rapi, siap jadi saksi.
Guru favorit Lanai, Bu Umi Salamah, masuk ke kelas. Wanita lembut asal Solo ini mengajar matematika, mata pelajaran yang bikin anak-anak lain takut, tapi bikin Lanai merasa kayak lagi main TTS.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Bu Umi dengan senyum yang bikin kapur di papan tulis merasa kalah putih.
“Selamat pagi, Bu Guru!” jawab murid-murid, kecuali Lanai. Dia cuma menjawab dalam hati: Selamat pagi, harapan NEM tinggi.
Bu Umi mulai menjelaskan kisi-kisi soal. Lanai mencatat dengan tekun. Dia tahu, matematika itu kayak cinta: kalau salah hitung, hasilnya berantakan. Bu Umi menutup pelajaran hari itu dengan pesan, “Pelajari lagi, ya, dan jangan lupa jaga kesehatan. Ujian penting, tapi badan lebih penting. Kalau badanmu tumbang, siapa yang mau ngerjain soal?”
Lanai tersenyum kecil. Di hatinya, dia menambahkan: Kalau nggak ngerjain soal, minimal ngerjain pengawas ujian.
Malam sebelum ujian, Lanai bergelut dengan buku-buku.
“Kenapa soal bahasa Indonesia lebih susah daripada hidup ini?” pikirnya, sambil menatap lembar kisi-kisi yang penuh tanda seru dan catatan kecil. Malam itu dia gelisah, tapi akhirnya tertidur ketika suara kentongan penjaga malam menggema.
“Terima kasih, Pak Kentongan. Suara bapak kayak lagu Nina Bobo versi tradisional,” gumamnya sebelum terlelap.
Hari ujian tiba. Lanai duduk di ruang ujian dengan perasaan seperti orang yang baru tahu mantannya sudah punya pacar baru: campur aduk. Lembar soal dibagikan, dan Lanai membaca soal Bahasa Indonesia yang membuatnya tertegun.
“Jadi, belajar semalaman itu fungsinya cuma untuk bikin lingkaran hitam di bawah mata?” pikir Lanai. Dia sempat bengong beberapa menit sebelum akhirnya menemukan fokusnya lagi.
Selesai dengan soal Bahasa Indonesia, Lanai tak langsung buru-buru mengumpulnya ke meja pengawas. Pikiran Jemalanya sempat bergerilya di kepalanya. Ia seolah mendapatkan pemahaman baru tentang Bahasa Indonesia. Batinnya lalu bersorak membisikkan makna baru.“Bahasa Indonesia itu pelajaran yang aneh. Setiap hari dipakai, tapi pas di ujian jadi terasa asing. Mirip orang yang kamu suka, setiap hari ketemu, tapi pas diajak ngomong malah gugup.
Tiga hari berlalu. Lanai menyelesaikan ujian dengan senyum cerah. Bukan karena soal-soalnya mudah, tapi karena akhirnya selesai juga. Saat pulang, dia langsung menemui neneknya di ruang tamu.
“Nek! Ujianku selesai! Aku sehat, lho, Nek!” serunya, lupa mengucapkan salam.
“Lanai, ucapkan salam dulu. Pamali,” ujar nenek, menutup majalahnya.
“Maaf, Nek. Tapi aku serius, aku sehat banget. Aku tidur larut, tapi aku kuat. Bahkan obat dari dokter Didi masih tersisa satu hari.”
Nenek hanya tersenyum tipis. Di hatinya, dia tahu, waktu cucunya semakin sedikit. Tapi dia tidak ingin mengurangi kebahagiaan Lanai.
“Ujian itu kayak hidup: pilihan gandanya banyak, tapi jawabannya cuma satu. Bedanya, kalau salah pilih di ujian, kamu cuma dapat nilai jelek. Kalau salah pilih di hidup, bisa dapat mantan.” (bersambung)