Diagnosa dokter itu seperti tugas Matematika: membosankan, bikin pusing, dan rasanya pengen ditinggal tidur aja. Tapi mau nggak mau, Lanai harus dengerin. Aktivitasnya jadi banyak dibatasi. Satu-satunya tempat yang bikin Lanai lupa sama penyakitnya adalah sekolah. Yah, setidaknya di sekolah masih ada teman-teman yang baik. Guru-guru juga perhatian, mungkin karena neneknya udah “bisik-bisik” duluan.
Sekolah Lanai itu biasa aja. SD Negeri Inpres yang ruangannya cuma delapan: enam kelas, satu ruang guru, dan satu ruang kepala sekolah. Itu pun ruang kepala sekolah sering kosong. Mungkin kepala sekolahnya lebih suka jadi “kepala kantin.”
Lanai duduk di kelas lima. Prestasinya? Nggak bagus-bagus amat, nggak jelek juga. Biasa aja. Maklum, dia sering perang sama penyakitnya. Kalau sekolah itu panggung hiburan, Lanai lebih cocok jadi penonton. Anak pendiam yang lebih suka menyendiri.
Ada satu orang yang bikin Lanai merasa dunia kayak berhenti muter sebentar. Namanya Mahali. Kakak kelas di kelas enam. Setiap lihat Mahali, ada sesuatu yang bikin Lanai bingung: ini perasaan apa sih? Kayak sakit kepala, tapi bikin senyum.
“Kalau suka sama orang bikin pusing, mendingan sakit kepala aja sekalian. Minimal bisa minum obat.” pikir Lanai.
Hari Senin tiba. Hari yang penuh cobaan karena ada upacara bendera. Mahali jadi pemimpin upacara. Wajahnya serius, tapi kalau diperhatikan lama-lama malah kayak anak hilang yang pura-pura tegar.
Setengah upacara, kepala Lanai terasa berat. Matanya berkunang-kunang. Rasanya upacara ini kok kayak konser yang nggak ada habisnya. Sebelum badannya nyungsep ke tanah, Mahali sigap berlari menyangga tubuhnya.
“Wah, pemimpin upacara jadi pemimpin penyelamatan nih,” sempet-sempetnya batin Lanai ngomong gitu sebelum pingsan.
Upacara bubar. Mahali ikut naik angkot mengantar Lanai ke rumah sakit. Di dalam angkot yang bunyinya kayak konser metal, Lanai sempat mendengar suara Mahali menghela napas panjang.
Begitu sadar, Mahali masih di sana, diem tapi matanya penuh perhatian. Dengan tangan kurusnya, Mahali menyuapkan bubur rumah sakit yang rasanya… ya gitu deh.
“Kamu harus banyak makan. Biar kuat. Di dalam tubuh yang kuat terdapat… kantong plastik buat muntah kalau makanannya nggak enak,” kata Mahali sambil nyengir.
Lanai tertawa kecil. Belum pernah ada yang perhatian kayak gini selain neneknya. Nama Mahali langsung dicatat di buku harian hati Lanai pakai tinta permanen.
“Kalau Mahali jadi dokter, aku pasti pasien pertamanya. Kalau dia jadi perawat, aku jadi pasien spesialnya. Kalau dia jadi sopir angkot, ya… aku jadi penumpangnya.”
Ketika Mahali harus pulang bersama Bu Susi, Lanai cuma bisa melambai. Dalam hati, rasanya seperti ketinggalan angkot terakhir di hari hujan.Dokter Didi datang dengan senyum yang rasanya lebih pahit daripada obat.
“Apa kabar, Lanai? Apa yang kamu rasakan?” tanya dokter sambil periksa infus.
Lanai pengen jawab, “Saya merasakan bosan, Dok.” Tapi dia cuma nunjuk kepalanya pelan.
Dalam hati, Lanai berandai-andai: “Kalau aku jadi dokter, aku akan suntik balik Dokter Didi pakai jarum suntik ini. Biar tahu rasanya!”
Setelah dokter pergi, nenek memeluk Lanai erat. “Nenek akan kirim kabar ke kampung supaya ayah dan ibumu bisa datang,” kata nenek dengan mata berkaca-kaca.
Lanai diam. Tuhan kayaknya lagi iseng nulis skenario hidupnya. Tapi selama Mahali masih ada di bab cerita ini, Lanai yakin satu hal: “Kadang hidup itu lucu. Kita sakit, tapi malah disembuhin sama senyum seseorang.”
Dan kali ini, Lanai tersenyum sambil pamer gingsulnya. “Terima kasih, Mahali. Kamu keren,” bisiknya pelan.
Kalau cinta pertama bisa datang secepat upacara bendera, mungkin ini dia.***