Menu

Mode Gelap
Banjir Melanda Bandar Lampung: Sejumlah Wilayah Terdampak, Warga Diminta Waspada Temuan Pansus Singkong: Semua Pabrik Tapioka Abaikan Surat Edaran Gubernur Fauzi Heri: Pansus Bisa Adopsi Program Creating Shared Value (CSV) Budidaya Singkong Pola Kemitraan di Mesuji Fauzi Heri Pertanyakan Nilai Ekonomis Singkong di Luar Tapioka Adi Ahmadi: Berpolitik untuk Sebar Kebermanfaatan I Made Suarjaya Kritik Kinerja Kadis Ketahanan Pangan Lampung Tengah

Opini dan Analisis

Gubernur Baru dan Pemberdayaan Politik Sipil

badge-check


					Gubernur Baru dan Pemberdayaan Politik Sipil Perbesar

Adagium ‘orang tua punya masa lalu, anak muda punya masa depan’ memberikan asa besar terhadap kepemimpinan anak muda, meski tentu tak mudah. Ralf Dahrendof pernah mengingatkan bahwa sebuah negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam tempo 6 bulan, dan bisa  membangun ekonomi pasar selama 6 tahun. Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur butuh waktu 60 tahun.

Kutipan tersebut mengingatkan bahwa demokrasi dan tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat pada hakikatnya membutuhkan proses dan juga waktu. Ia tak bisa lahir simsalabim.

Pilkada langsung sebagai hajat demokrasi lokal di Indonesia yang dimulai sejak pertengahan tahun 2005, dalam perjalanannya selalu menjadi perbincangan publik dan mendapatkan evaluasi. Mulai dari biaya penyelenggaraan yang dianggap mahal, hingga praktik politik uang yang menyertainya. Solusi pun mengalir dari penelitian-penelitian, forum-forum diskusi serta berbagai ikhtiar serius senantiasa dilakukan untuk mencari formula terbaik untuk masa depan demokrasi, mutakhir ada keinginan mengembalikan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.

Apa muara dari semua itu? Tentu saja cita-cita luhur agar proses demokrasi lebih beradab dan bermartabat, yang salah satunya ditandai dengan Pilkada dapat berkontribusi pada kesejahteraan rakyat dan penguatan demokrasi lokal.

Tak ada yang membantah, bahwa Pilkada memiliki berbagai soal yang harus diperbaiki. Meski demikian, optimisme untuk menemukan jalan keluar dari karut-marut persoalan Pilkada langsung senantiasa ditujukan untuk memperkuat hak politik rakyat sipil, bukan justru sebaliknya. Singkatnya, kita butuh waktu dan proses untuk membangun masyarakat sipil yang kuat dan berdaya.

Salah satu jalan keluar yang diupayakan adalah pemberdayaan politik sipil. Upaya pemberdayaan politik sejatinya ditujukan untuk mendorong transformasi politik yang lebih humanistik, dengan masyarakat sebagai orientasinya. Pada gilirannya pemberdayaan politik bukan lagi sekadar konsep yang didiskusikan. melainkan berubah menjadi  gerakan kritis dan emansipatoris yang berpusat pada civil society.

Penulis meyakini bahwa politik sipil bakal berubah secara linier, yaitu perubahan yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern.  Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1988), paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Konsekuensi pola pikir ini senantiasa mendorong politik yang berpu­sat pada rakyat dan memberi tempat pada berbagai inisisatif lokal serta menumbuhkan inisiatif komunitas-komunitas yang mandiri. Model politik ini memiliki perbedaan fundamental di dalam karakteristik dasarnya dibandingkan dengan strategi politik konservatif, yang menjadikan elite sebagai pengendali utama politik dan menempatkan rakyat sebagai obyek.

Dasar interpretasi politik yang berpusat pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan strategis. Karena itu, politik juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi manu­sia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka. Politik semacam ini mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat.

Proposisi di atas mengindikasikan bahwa inti dari politik yag berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat. Dalam konteks Pilkada, dimen­si partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Melalui partisipasi, perjuangan dan kemam­puan masyarakat untuk membangkitkan partisipasi politik secara kolektif akan semakin menguat.

Sikap terbuka yang ditunjukkan dalam kata dan karya Mirza-Jihan, mulai dari masa kampanye hingga setelah penetapan hasil rekapitulasi Pilgub Lampung 2024 yang lalu, menghadirkan optimisme baru bahwa pelibatan masyarakat dalam demokrasi tidak hanya terbatas hadir di TPS. Lebih jauh dari itu, partisipasi yang diharapkan adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian pada gilirannya masyarakat ditempatkan sebagai subyek utama yang juga ikut mempengaruhi pembangunan paska-pilkada.

 

Optimisme Lampung

Selama sepuluh tahun terakhir, masyarakat Lampung dipimpin oleh dua Gubernur yang ‘diisukan’ berada dalam bayang-bayang oligarki lokal. Sehingga opini yang terbangun mengesankan Pilkada selama ini tak lebih sebagai kontestasi di pasar gelap yang mempertemukan kepentingan aktor politik dan bisnis. Hasilnya, penguasa daerah yang terpilih lebih mengabdi kepada para cukong politik daripada mengabdi kepada rakyat.

Inilah paradoks demokrasi, demokrasi yang dikendalikan para cukong. Pilkada berbiaya tinggi menjadi kesempatan para cukong, khususnya partai politik membangun politik transaksional, saling mempertukarkan sumber daya (power exchance resouces) dan memperdagangkan pengaruh kekuasaan (power trading influence). Akkhirnya, Pilkada sekadar melahirkan penguasa yang tersandera para oligarki yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Fenomena kemenangan Mirza-Jihan yang lepas dari kungkungan oligarki bisa jadi adalah simbol perlawanan dan kejenuhan rakyat dipimpin tanpa perubahan dan keberpihakan kepada rakyat selama satu dasawarsa, pun di sisi lain munculnya harapan baru untuk masa depan Lampung lebih baik.

Antusiasme Masyarakat itu terlihat di setiap kegiatan dan acara yang diselenggarakan oleh calon gubernur sejak jauh hari hingga hari pencoblosan, dan dibuktikan dengan persentase perolehan suara Mirza-Jihan yang mencapai angka 82,7%  atau sebesar 3.991.757 suara jauh mengungguli calon petahana Arinal Djunaidi-Sutono yang hanya meraih suara 691.076 atau 17,3%.

Angka 82% tersebut, bukan hanya hanya memberi kemenangan telak bagi pasangan Mirza-Jihan dan memecahkan rekor persentase kemenangan terbesar sepanjang sejarah gelaran Pemilihan Gubernur secara langsung di Indonesia, melainkan juga bertaut-erat dengan do’a dan harapan masyarakat Lampung.

Jika, wajah gubernur lama lebih cenderung menampilkan politik konservatisme yang dalam pembelaan Hans-Georg Gadamer mengandung ajaran-ajaran kebijaksanaan yang berguna untuk membimbing kita di masa sekarang, tetapi di sisi lain seringkali juga berwajah bengis dan menindas dalam pandangan Jurgen Habermas. Maka gubernur baru ini diharapkan lebih mempraktikkan politik sipil yang humanis dan tidak anti-kritik.

Politik sipil diharapkan akan lebih menumbuhkan dan memperkuat kesadaran kritis warga, merangkul semua kelompok (kolaborasi antar pendukung), sehingga periodesiasi kepemimpinan lebih efektif diperuntukkan untuk mewujudkan janji-janji pada masa kampanye.

Rakyat tentu saja menginginkan Pilkada yang telah usai ini melahirkan sosok yang dimiliki semua orang, milik Lampung, pemimpin yang telah mengawali perjuangannya dengan cara-cara demokratis dan bermartabat, bekerja dan mengabdi untuk kesejahteraan rakyat dan terus merawat nilai-nilai kebajikan hingga akhir dan bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Mirza-Jihan: Pemimpin Baru untuk Lampung Maju

8 Januari 2025 - 12:19 WIB

Harga Cabai Anjlok, Petani di Tulang Bawang Kian Terpuruk

4 Desember 2024 - 22:21 WIB

Pemimpin Muda untuk Lampung, Harapan Baru dan Ujian Besar

1 Desember 2024 - 10:34 WIB

Trending di Opini dan Analisis