Menu

Mode Gelap
Lapor PLN, Sambungan Listrik di Gang Masjid Bumi Kedamaian Rawan Korslet Pemprov Lampung Dihadapkan pada Defisit Anggaran, DPRD Dorong Optimalisasi PAD dari Sektor Non Pajak Kemitraan Sawit Semrawut, Fauzi Heri Desak Pemkab Mesuji Tuntaskan Penyebab Konflik warga dengan PT. Prima Alumga Fauzi Heri Dorong Pendataan Aset Dinas KPTPH untuk Hasilkan PAD Fauzi Heri: Jangan Sampai Lampung Dijadikan Tempat Usaha, tetapi Hanya Mendapatkan Kotorannya Saja Lampung: Gerakan Kebudayaan sebagai Strategi Pemberdayaan

Cerita

Sendang di Sekolah baru (bagian 4)

badge-check


					Sendang di Sekolah baru (bagian 4) Perbesar

Di sekolah baru ini, aku seperti anak kucing yang kehilangan induk: bingung, tapi sok tenang. Teman-teman belum banyak, guru-gurunya belum ada yang bisa kuajak bercanda, dan sekolahnya… yah, hanya bagian depannya saja yang diplester beton. Sisanya? Dipagari tumbuhan yang menurutku sudah jadi anggota komunitas “Pohon Senior Indonesia.”

Di samping kelasku, ada sendang kecil yang airnya tak pernah kering. Kami menyebutnya “Bilik”. Tempat itu seperti pacar yang susah didekati—harus menempuh jalan setapak yang licin dan curam dulu. Tapi meski begitu, Bilik ini punya daya tarik magis. Airnya dingin seperti sindiran mantan, dan ada sesaji yang rutin muncul tiap Jumat.

Biasanya ada bunga tujuh rupa, beras ketan, dan uang logam yang diletakkan dengan santun di pinggir air. Kami? Ah, kami ini cuma manusia biasa yang tergoda sama uang logamnya. Siapa cepat, dia dapat, seperti lomba lari beregu tanpa piala.

Uniknya, kalau sudah dapat uangnya, kami wajib bilang terima kasih. Bukan ke manusia, tapi ke… entah siapa. Ada yang membungkuk, ada yang sok religius pakai salam, bahkan ada yang cuma bilang, “Tengkiyu, mas!”—dan itu biasanya aku.

“Terkadang, yang sulit dalam hidup itu bukan bilang terima kasih, tapi ikhlas kalau uang logamnya keburu diambil orang lain.”


Bilik ini memang punya aura misterius. Katanya ada penunggunya. Pernah Deasy, murid kelas 3.C, tiba-tiba histeris di kelas. Teriaknya lebih heboh dari fans boyband di konser. Tangannya menunjuk ke arah sendang sambil menceracau. Semua orang panik, kecuali Pak Sugeng yang tetap tenang seperti biasanya.

Pak Sugeng itu mirip superhero lokal. Dengan minyak angin di tangan, dia usap-usap hidung Deasy sambil komat-kamit membaca doa. Lima belas menit kemudian, Deasy sadar, dan kami semua lega. Tapi rumor pun bertebaran. Katanya Deasy kesurupan karena buang air di sendang. Ada yang bilang dia pacaran di sana. Ada juga yang bilang, dia ngomong sembarangan soal sendang. Kalau kau tanya aku, aku cuma akan bilang: “Deasy itu memang suka ngomong seenaknya. Jadi mungkin itu karma verbal.”


Aku yang merasa jagoan dan tidak percaya takhayul mulai gatal ingin membuktikan sendiri. Apa benar sendang itu sakral, atau hanya mitos yang kebanyakan micin? Aku punya beberapa rencana. Salah satunya: mengencingi sendang itu. Jangan bilang siapa-siapa, ini rahasia antara aku dan Tuhan.

Hari H ditentukan: Jumat pagi, setelah olahraga. Saat teman-teman lain sibuk lari-lari di lapangan, aku pura-pura izin ke Pak Sugeng, “Pak, mau ke toilet.” Dia mengangguk tanpa curiga, dan aku melangkah dengan kecepatan 80% berlari menuju sendang.

Tiba di sana, aku tak banyak basa-basi. Langsung kuhujani air sendang dengan… ya, kau tahulah. Belum selesai, tiba-tiba ada suara menggema dari balik pepohonan:
“Hei, siapa kamu, berani-beraninya kencing di sendang ini!”

Jantungku seperti ikut lompat ke sendang. Aku membayangkan hantu berwajah seram keluar dari balik pohon. Tapi bukan hantu yang muncul. Melainkan… Bang Mat Nuh, penjaga sekolah yang wajahnya lebih menyeramkan dari rumor sendang itu sendiri. Dengan baju kaos tanpa lengan dan kain melilit di bahunya, dia berdiri sambil mengepalkan tinju.

“Dasar bocah! Kamu nggak lihat saya lagi ambil air buat minum?!”

Aku gemetar, tapi tetap pilih kabur secepat kilat. Dalam hati aku berkata, “Ya ampun, Bang Mat, kalau minum pakai galon aja, jangan dari sendang!” Tapi tentu saja itu hanya pikiran yang tidak sempat jadi ucapan.

“Terkadang, keberanian itu bukan soal menghadapi makhluk halus, tapi menghadapi Bang Mat yang haus.”

Sejak hari itu, aku berjanji akan menghormati sendang kecil itu. Bukan karena takut penunggunya, tapi karena takut Bang Mat ada di sana lagi.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Menteri Perdagangan: Impor Tapioka Diperketat, Petani Singkong Didorong Berinovasi

6 Februari 2025 - 08:26 WIB

Perjalanan Pulang yang Penuh Cerita (Bagian 12)

9 Januari 2025 - 01:37 WIB

Lanai dan Cerita Hidupnya tanpa Rasa Asin (Bagian 6)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Bayang-Bayang di Ujung Senja Yang Berbisik

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Bubur Rasa Perhatian (Bagian 8)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Trending di Cerita