Malam itu, Fauzi Heri baru saja menyelesaikan sejumlah kegiatan resesnya sebagai anggota DPRD Lampung. Telepon di genggamannya berdering. Suara seorang ibu terdengar di ujung sambungan, memohon dengan suara yang bergetar. “Pak Fauzi, tolong bantu anak saya. Ijazahnya ditahan sekolah, kami tidak punya uang untuk menebus,” katanya.

Fauzi sempat terdiam. Dari mana ibu ini tahu nomor pribadinya? Namun, intuisi dan rasa empati mendorongnya untuk mendengar lebih lanjut. Esoknya, Fauzi memutuskan untuk mengunjungi ibu tersebut, yang tinggal di sebuah rumah sederhana di Kedaton, Bandar Lampung.
Ketika sampai, ia disambut oleh seorang perempuan paruh baya dengan mata lelah dan wajah penuh kekhawatiran. Di sampingnya, seorang pemuda bernama M.Robby Sugara, anak angkat sekaligus keponakannya, hanya menunduk diam.
“Saya hanya berdagang mie ayam, Pak. Anak saya butuh ijazah itu untuk ikut wisuda. Saya sudah berusaha pinjam uang, tapi tetap masih kurang. Sekolah tidak mau memberikan fotokopi ijazah, meskipun kami sudah berjanji akan mencicil,” cerita sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Perjuangan di Balik Ijazah
Ijazah yang seharusnya menjadi simbol keberhasilan justru menjadi beban bagi Robby dan keluarganya. Sudah tiga tahun sejak ia lulus dari sebuah SMK swasta di Bandar Lampung, namun ijazah itu masih tertahan karena tunggakan biaya sekolah.
Fauzi, yang juga seorang advokat, mencoba menyelesaikan masalah ini dengan pendekatan langsung. Ia menghubungi kepala sekolah untuk membicarakan kebijakan ini, tetapi panggilannya tak diangkat. Setelah berulang kali mencoba, telepon akhirnya diterima, namun jawabannya membuatnya geram.
“Ini bukan keputusan saya, Pak Fauzi. Semua kebijakan ada di tangan yayasan,” kata kepala sekolah dengan nada datar.
Fauzi tak menyerah. Ia meminta tim hukumnya menelusuri dasar hukum terkait kasus ini. Tak lama, ia menemukan sebuah aturan penting: Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Sekjen Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2022. “Satuan pendidikan dan Dinas Pendidikan tidak diperkenankan untuk menahan atau tidak memberikan ijazah kepada pemiliknya dengan alasan apapun,” bunyi aturan itu.
Dengan dasar itu, Fauzi kembali mencoba bernegosiasi. Namun, kepala sekolah tetap bersikeras, membuat Fauzi naik pitam. “Menahan ijazah itu melanggar hukum! Kalau ini tidak segera diselesaikan, saya akan membawa masalah ini ke Komisi V DPRD dan mengirimkan somasi ke sekolah dan yayasan,” tegasnya.
Harapan di Tengah Malam
Malam itu, Fauzi pulang dengan hati berat. Namun, ia berjanji kepada ibu Robby bahwa persoalan ini akan selesai. “Doakan saja, Bu. Kita tidak boleh menyerah,” katanya sambil menenangkan ibu yang tampak putus asa.
Tak mau menunggu lama, Fauzi menginstruksikan pengacaranya untuk menyiapkan somasi resmi kepada sekolah dan yayasan. Ia tahu, ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini soal keadilan bagi rakyat kecil yang sering kali terabaikan.
Akhir yang Membahagiakan
Keesokan harinya, dengan perjuangan dan tekanan yang tak kenal lelah, Fauzi berhasil membuat sekolah menyerahkan ijazah Robby. Pemuda itu akhirnya memegang dokumen yang selama ini terasa seperti mimpi yang tak terjangkau.
“Alhamdulillah, Pak Fauzi. Makasih banyak ya pak doain Robby biar bisa jadi kek bapak ya pak,” ujar Robby, suaranya bergetar menahan haru.
Fauzi, yang tak bisa menyembunyikan senyumnya, hanya menjawab singkat, “Ini bukan soal saya. Ini soal hak Anda yang harus dikembalikan. Tidak boleh ada satu pun rakyat kita yang haknya dirampas seperti ini.”
Lebih dari Sekadar Ijazah
Bagi banyak orang, ijazah mungkin hanya secarik kertas. Namun, bagi Robby dan ibunya, itu adalah kunci untuk membuka pintu-pintu baru dalam hidup. Kisah ini bukan hanya tentang seorang anggota dewan yang turun tangan, tetapi tentang bagaimana sebuah kepedulian kecil bisa memberikan dampak besar bagi mereka yang membutuhkan.
Fauzi membuktikan, bahwa menjadi wakil rakyat bukan hanya soal duduk di kursi parlemen, melainkan juga tentang berdiri di sisi mereka yang terpinggirkan, memperjuangkan keadilan hingga ke titik terakhir.
*Uncle N