Untuk merayakan kesehatannya yang membaik, nenek mengajak Lanai pulang ke desa. Libur sekolah kali ini terasa pas, karena pengumuman kelulusan masih dua minggu lagi.
“Kapan lagi bisa santai sebelum hidup mulai sibuk?” pikir Lanai.
Dua hari perjalanan pulang, yang dulu terasa melelahkan, kini berubah menjadi perjalanan yang penuh keindahan.
Sepanjang jalan, Lanai memandangi semua dengan mata berbinar. Pohon-pohon melambai, semak ilalang menari-nari, bangunan tua berdiri kokoh. Bahkan rumah-rumah penduduk yang dulu biasa saja, kini terlihat seperti lukisan yang hidup.
“Dulu semuanya terlihat suram. Sekarang? Semua tampak begitu menakjubkan,” gumamnya sambil tersenyum.
Ketika Chevrolet tua itu tiba di Menggala, perahu ayah sudah setia menunggu di dermaga kota tua. Nama perahunya, Jujur Harapan, terdengar seperti nama kapal dalam cerita dongeng. Ayah sendiri yang mengemudikan perahu, ditemani Mang Bujang, kerabat jauh yang selalu punya cerita jenaka.
Begitu Lanai turun dari mobil, ayah langsung mendekapnya erat. “Anakku, ini seperti kelanjutan dari kisah petualangan kita,” ujarnya sambil mengangkat tubuh Lanai tinggi-tinggi. Lanai tertawa kecil, merasa seperti tokoh dalam cerita dongeng.
Di dermaga, orang-orang duduk santai di teras belakang rumah mereka, melambaikan tangan saat melihat Lanai. Anak-anak kecil bermain di sungai, meloncat dari atas rumah ke air yang mengalir deras.
“Mereka seperti pendekar sungai,” pikir Lanai, mengingat teman-temannya di desa yang dulu selalu punya ide-ide seru untuk bermain.
Lanai mulai bercerita panjang lebar kepada ayahnya, suara mesin perahu tak menghalangi semangatnya. Dari cerita sekolah, guru-guru, hingga wajah dokter Didi yang selalu terlihat serius seperti tokoh dalam kisah misteri. Ayah mendengarkan dengan sabar, sesekali tersenyum mendengar cerita-cerita Lanai yang mengalir tanpa henti.
Menjelang malam, mata Lanai tak bisa diajak kompromi lagi. Ia tertidur di atas tikar di dalam perahu, memeluk mimpi-mimpinya yang indah. Ketika terbangun, sinar matahari sudah menyapa wajahnya, dan aroma masakan nenek membangunkan perutnya yang mulai keroncongan.
“Aku mau makan bareng ayah dan nenek,” pinta Lanai, matanya penuh harap.
Nenek setuju, dan ayah pun menyerahkan kemudi kepada Mang Bujang. Mereka makan bersama, menikmati pindang ikan toman dan sambal buatan nenek. Lanai melirik ayahnya yang makan dengan lahap, merasa hangat di hati melihat kebersamaan ini.
Ketika akhirnya mereka tiba di dermaga desa, teriakan kakaknya memecah keheningan, “Lanai sudah tiba! Ibu, cepat kemari!”
Rumah kayu besar yang dulu terasa sepi kini kembali ramai oleh kerabat. Si bungsu yang awalnya malu-malu, akhirnya berani juga mendekat, merasa nyaman dengan kehangatan keluarga yang telah lama dirindukan.
Tidak banyak yang berubah di desa ini. Surau masih berdiri kokoh di ujung desa, rumah-rumah panggung masih sama seperti dulu, dengan tiang-tiang kayu yang setia menjaga dari luapan air sungai. Lanai merasa semua letih perjalanan terbayar lunas. Hari ini adalah salah satu hari yang takkan pernah ia lupakan—hari yang penuh cerita, tawa, dan kebahagiaan.
“Hidup ini seperti perjalanan panjang di sungai, kadang tenang, kadang berarus deras, tapi selalu penuh dengan cerita yang indah.”(bersambung)***