Menu

Mode Gelap
DPRD Lampung Sahkan APBD Perubahan 2025, Defisit Ditutup dari SiLPA Gubernur Lampung Janji Optimalkan Sumber Pendapatan Daerah Fauzi Heri Apresiasi Capaian Ekonomi Lampung: Tertinggi di Sumatera, Angka Kemiskinan Turun Amrullah Soroti Ketimpangan Anggaran Sektor Pangan dan Ekonomi Fauzi Heri Dukung Pernyataan Gubernur Lampung, Kunci Daya Saing Singkong Ada di Produktivitas Ekosistem Wisata Berkelanjutan Yogyakarta Jadi Model Inspirasi bagi Lampung

Cerita

Cerita Tentangku (Bagian 2)

badge-check


					Cerita Tentangku (Bagian 2) Perbesar

Bayangan senyum malu itu sekarang sudah jarang mampir ke kepala. Mungkin dia lagi sibuk atau kehabisan tiket buat masuk ke pikiranku. Kadang-kadang masih nongol juga sih, tapi cuma lewat bentar kayak iklan. Kalau soal perasaan, ya jelas nggak berubah. Tetap ada, tetap besar, dan tetap bikin aku kikuk. Tapi jujur, buat ngomong “Hai” ke dia saja rasanya kayak mau ikutan lomba adu nyali.

Beberapa bulan terakhir, aku udah nggak dengar kabarnya lagi. Wajahnya yang suka nunduk malu-malu, suara yang nggak bisa dibilang bagus tapi anehnya bikin tenang, sama gingsulnya yang kayak bonus dari Tuhan itu—semua sekarang cuma tinggal kenangan. Masalahnya, aku bukan tipe orang yang jago menyimpan kenangan. Jadi, ya sudahlah.

Tapi hidup kayaknya senang ngasih kejutan. Tepat sebelum kenaikan kelas, aku dapat kabar dari bapak: kami harus pindah rumah. Gimana nggak? Rumah yang selama ini jadi tempat aku melamun tentang senyum malu itu, dijual! Alasannya sederhana: uang. Kata bapak, rumah kami yang sekarang terlalu jauh dari rumah baru yang bahkan belum selesai dibangun. Lucu ya? Pindah rumah ke rumah yang belum ada rumahnya.

Rumah lama ini sebenarnya nggak mewah. Tapi nyaman. Halamannya luas, penuh bunga warna-warni yang dirawat ibu. Di depan ada pagar hidup dari tanaman kembang pagar. Kamarnya lima, cukup buat kami sekeluarga. Tapi ya mau gimana, hidup ini sering kali nggak peduli sama perasaan orang. Jadi, hari itu juga kami pindah. Barang-barang sudah dikemas, termasuk aku yang rasanya kayak barang juga.

“Bapak udah bikin rumah baru di Sukarame,” kata bapak pelan. Bikin rumah baru? Lebih tepatnya: niat bikin rumah baru tapi belum jadi. Aku cuma bisa angguk-angguk, padahal hati ini mau teriak, ‘Kenapa nggak tunggu rumahnya selesai dulu, Pak?’ Tapi aku tahu, bapak juga nggak punya pilihan lain.

Belakangan aku tahu, rumah lama itu dijual buat biaya sekolah kami bertiga. Kakakku yang pertama kuliah di Yogya, kakak kedua kelas tiga SMA, dan aku masih kelas dua SMP. Kalau dipikir-pikir, kami ini kayak cicilan: makan uang banyak tapi baru kelihatan hasilnya nanti.

Sebenarnya hidup kami dulu baik-baik saja, sampai dua tahun lalu. Malam itu, aku kebangun gara-gara ibu tiba-tiba nangis histeris. Ternyata Mang Rohim, teman bapak di pangkalan ojek, datang membawa kabar buruk. Bapak kecelakaan! Sepeda motornya ditabrak truk bermuatan jagung. Aku nggak tahu apa dosa bapak sama jagung, tapi malam itu hidup kami berubah drastis.

Bapak koma dua minggu. Tubuhnya penuh selang infus dan oksigen. Waktu akhirnya sadar, hal pertama yang dia bilang adalah, “Air.” Aku yang ada di sampingnya langsung terharu. Ibu yang selalu sabar, dengan cekatan menyuapkan air pakai sendok.

Sejak kecelakaan itu, bapak nggak bisa lagi jalan. Kursi roda jadi alat tempurnya yang baru. Dan ibu, dia sekarang adalah superhero tanpa jubah. Keterampilannya bikin kue jadi penyelamat keluarga. Aku sering bantu, mulai dari beli bahan sampai titipin kue-kue itu di warung.

Berawal dari dagang kecil-kecilan, akhirnya ibu bisa punya kios di Pasar Wayhalim. Meskipun nggak bikin kaya, setidaknya cukup buat bayar SPP dan beli buku. Aku jadi sadar, hidup ini memang berat. Tapi kalau nggak berat, mungkin bukan hidup namanya.

Oh ya, soal bayangan senyum malu itu? Dia masih ada di kepalaku, meskipun nggak sesering dulu. Kayaknya dia juga butuh waktu buat menyesuaikan diri dengan kehidupan baruku. Atau siapa tahu, dia malah pindah ke hati orang lain? Ah, sudahlah. Aku ini Mahali. Anak SMP yang cuma bisa pasrah sama takdir.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Saung Bude: Kuliner Nusantara yang Menggoda di Selatan Lampung

20 Maret 2025 - 15:06 WIB

Menteri Perdagangan: Impor Tapioka Diperketat, Petani Singkong Didorong Berinovasi

6 Februari 2025 - 08:26 WIB

Perjalanan Pulang yang Penuh Cerita (Bagian 12)

9 Januari 2025 - 01:37 WIB

Bukan Akhir Cerita, Tapi Awal Makan Enak Lagi (Bagian 11)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Lanai dan Cerita Hidupnya tanpa Rasa Asin (Bagian 6)

26 Desember 2024 - 10:34 WIB

Trending di Cerita