Satu tahun setelah vonis dokter Didi, waktu terasa seperti tukang parkir. Selalu bilang, “Maju… maju… stop!”
Hari ini, Lanai dan neneknya harus ke rumah sakit. Bukan buat nampang di ruang tunggu, tapi buat ketemu dokter Didi. Kalau hari ini ternyata hari terakhir, berarti ini adalah final episode drama rumah sakit yang nggak ada iklan sampo-nya.
Jantung Lanai berdetak kencang, kayak penabuh drum di konser metal. Sementara nenek duduk diam di bangku kayu panjang, mirip patung Pancoran, tapi lebih murah senyum.
Dokter Didi masuk, melihat hasil rontgen, lalu geleng-geleng kepala. Bukan karena pusing cicilan motor, tapi karena kaget.
“Ajaib sekali. Ini nggak pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan hasil rontgen ini, ginjal kamu sehat, Lanai. Selamat!” kata dokter Didi dengan mata berbinar.
Lanai dan nenek melongo. Ini perasaan campur aduk antara senang, bingung, dan pengen nyari siapa yang ngasih efek spesial ini.
“Berarti Lanai sudah sembuh total, dok?” tanya nenek sambil genggam bahu Lanai seolah bahunya itu satu-satunya pegangan hidup.
“Iya, sembuh total. Kalau nggak ada keluhan, nggak usah kontrol lagi. Tapi kalau kangen sama saya, ya silakan. Saya nggak nolak,” ujar dokter Didi sambil nyengir.
Lanai dan neneknya langsung berpelukan. Air mata bahagia tumpah, mirip hujan deras di bulan Desember. Tapi kali ini, nggak bikin banjir, cuma bikin pipi basah.
“Segalanya tidak akan berakhir, tapi segalanya akan berawal dari saat ini. Kamu seperti terlahir kembali, Lanai,” kata nenek, dengan mata berkaca-kaca seperti iklan sabun cuci piring.
“Iya, Nek. Doa-doa aku ternyata dikabulkan Tuhan. Aku merasa seperti lahir kembali. Selamat tinggal masa lalu, semoga masa depan nggak sekompleks soal matematika,” ujar Lanai dengan senyum setengah lega, setengah lapar.
Dokter Didi cuma senyum-senyum. Dalam hatinya bilang, “Hebat anak ini. Kalau aku yang sakit, mungkin udah nyerah pas lihat antrian rumah sakitnya.”
Sepulang dari rumah sakit, Lanai tiba-tiba jadi kreatif. “Nek, ayo kita makan yang rasanya full team. Aku kangen sama garam.
“Nenek mengangguk. “Mau masak apa, Na?”
“Sayur asam, Nek! Pedas, asin, pokoknya rasanya nggak malu-maluin lidah!” katanya semangat.
Sore itu, sayur asam berhasil bikin lidah Lanai berjoget ria. Asin, pedas, asam, lengkap kayak anggota boyband yang selalu pasang senyum di video klip. Rasanya? Lezat sekali. Ini bukan makanan, ini pengalaman spiritual.
Setelah makan, mereka sengaja buang-buang waktu dengan ketawa-tawa nggak jelas. Karena kadang, kebahagiaan terbaik itu gratis. Menjelang tidur, Lanai berpikir: “Kadang hidup itu aneh. Sakitnya gratis, sembuhnya mahal. Tapi hari ini, aku dapat sembuh gratis, bonusnya bisa makan enak. Makasih, Tuhan. Kamu baik banget. Jangan bosan-bosan ya!”
Dan malam itu, mereka tidur pulas. Mimpi indah datang seperti tamu tak diundang, tapi nggak bikin repot. Justru bikin senyum.
“Kadang, kesembuhan itu kayak ketemu tukang es cincau pas siang-siang panas. Susah dicari, tapi pas dapet rasanya pengen teriak, ‘YES! HIDUP INI INDAH!’”***(bersambung)