Bandarlampung, 9 Januari 2025 – Tanah Tanjung Karang menjadi saksi awal kehidupan seorang anak bernama Andika Wibawa Sepulau Raya, sosok yang kelak lebih banyak mengabdikan dirinya untuk masyarakat Lampung. Andika Wibawa, lahir 8 Juni 1976, namanya menggema laksana ombak di samudera, bukan hanya menapak kehidupan sebagai individu, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang mencurahkan banyak waktunya untuk masyarakat. Ia adalah sebuah harmoni dari masa lalu yang tenang, masa kini yang penuh gairah, dan masa depan yang menjanjikan.
Sejak masa mudanya, Andika menyusuri jalan kehidupan dengan tekad yang terpatri kuat. Andika menyulam mimpi dan keyakinan dalam balutan pendidikan yang panjang dan berliku. SMA Negeri 55 Duren Tiga, Jakarta Selatan, adalah tempat ia menanam benih kedisiplinan dan wawasan, yang kemudian ia lanjutkan di Universitas Pancasila untuk studi sarjana (1994–2001). Tak berhenti di sana, ia mengejar kesempurnaan akademiknya dengan menempuh pascasarjana di Universitas Saburai (2014–2016), menggambarkan sosok pembelajar yang tak kenal lelah.
“Sebagai pemain band Krakatau Steel, ayah saya pernah tinggal di Jakarta. Saya sempat juga sekolah TK di Jakarta, tapi tidak lama. Kemudian kita hijrah ke Lampung, saya masuk TK Trisula Rawalaut, SD-nya saya masuk SD Teladan, SMP Negeri 2 yang dulu di Pahoman sekarang sudah pindah di Rajabasa. SMA-nya saya sempat masuk SMA Negeri 3 hingga kelas 2, tetapi karena ingin melanjutkan kuliah di Jakarta, pindahlah saya ke Jakarta, masuk SMA 55 Duren Tiga,” kenang Andika.
Inspirasi dari Ayahanda: Warisan Nilai dan Seni yang Abadi
Dalam hidup Andika, sosok H. Andy Achmad Sampurna Jaya, ayahandanya yang pernah menjabat sebagai Bupati Lampung Tengah (2000–2010), menjadi cermin yang memantulkan nilai-nilai pengabdian. Dengan latar belakang sebagai seniman, Andy Achmad mengajarkan bahwa kekuatan kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan menyatukan manusia dalam harmoni, sebagaimana musik tradisional Lampung yang ia ciptakan dalam lagu legendaris “Tanoh Lado.” Inspirasi ini membentuk landasan Andika untuk mendedikasikan dirinya kepada politik.
“Bukan sebagai panggung kekuasaan, tetapi sebagai ruang pengabdian,” tegas anak sulung dari empat bersaudara tersebut.
Namun, bukan hanya ayahanda yang menjadi inspirasinya. Sosok Gunadi Ibrahim, tokoh politik Partai Gerindra, menyuntikkan kebijaksanaan dalam diri Andika. Dalam kata-katanya, Gunadi menegaskan bahwa seorang pemimpin tak harus menjadi yang paling pintar, tetapi harus bijaksana. Bagi Andika, kebijaksanaan itu adalah lentera yang menuntunnya untuk menyeimbangkan kutub positif dan negatif dalam memimpin, demi kepentingan masyarakat yang ia layani.
Menyulam Peran: Aktivis, Politisi, dan Pemimpin Organisasi
“Saya ini sebetulnya anak rumahan, jarang keluar. Hingga suatu saat saya dimarahin ayah, karena enggak kayak anak orang lain. Saya anak Mak, hobinya masak.” Andika menjelaskan masa remajanya sebelum aktif berorganisasi.
Sebagai seorang introvert yang menggemari keheningan dapur dan seni memasak, transformasi Andika menjadi seorang aktivis terasa seperti metamorfosis kupu-kupu. Pertama kali keluar gabung dengan anak motor, nongkrong di bengkel, kemudian bergabung di organisasi Pagar Lampung.
Dari bangku kuliah, ia mulai menyelami dinamika sosial, hingga akhirnya terjun ke dunia organisasi. Ia mengemban berbagai peran strategis, mulai dari Bendahara DPD GAPENSI Lampung, Ketua Bandrong Lampung, Ketua DPB PBR Kabupaten Lampung Tengah hingga menjadi Ketua DPC Partai Gerindra Kota Bandar Lampung. Dalam setiap langkah, ia membawa misi untuk memadukan kekuatan organisasi dengan visi kesejahteraan masyarakat.
Sebagai legislator di Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Andika kini berfokus pada isu-isu kesejahteraan rakyat. Ia mengawal pendidikan, kesehatan, isu sosial, ketenagakerjaan, hingga kebudayaan dengan visi yang mengakar pada kepentingan masyarakat. Dalam pandangannya, kesejahteraan bukan hanya statistik, tetapi tentang bagaimana setiap individu merasakan manfaat dari kebijakan yang diterapkan.
Mimpi untuk Lingkungan: Ancaman Sampah dan Harapan yang Mengakar
Andika adalah sosok pemimpi yang membumi. Salah satu visinya yang paling menonjol adalah menciptakan solusi bagi ancaman sampah di Provinsi Lampung. Baginya, sampah bukan hanya tentang sisa material, tetapi bom waktu yang mengancam ekosistem, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan. Ia bermimpi menciptakan formula yang efektif dan efisien untuk menangani sampah, yang tidak hanya menyelesaikan masalah saat ini tetapi juga mengamankan masa depan generasi mendatang.
Dalam keyakinannya, sampah adalah pelajaran hidup, bahwa apa yang kita abaikan hari ini bisa menjadi beban besar di masa depan. Karenanya, ia mengajak semua pihak untuk memikul tanggung jawab bersama, menjadikan lingkungan sebagai warisan yang kita rawat, bukan yang kita rusak.
Pesan untuk Generasi Muda: Berjalan dalam Keikhlasan dan Keyakinan
Bagi Andika, hidup adalah perjalanan, seperti sepeda yang terus harus dikayuh agar tetap seimbang. Kepada generasi muda Lampung, ia menitipkan pesan bahwa mimpi adalah sesuatu yang layak diperjuangkan, meski jalan menuju pencapaiannya terjal dan penuh tantangan. Namun, perjalanan itu hanya bermakna jika disertai dengan hubungan yang erat dengan Sang Pencipta.
“Keikhlasan adalah kunci, dan menerima kepahitan hidup adalah bagian dari perjalanan yang harus diterima dengan lapang dada,” tegasnya.
Dalam setiap langkahnya, Andika menunjukkan bahwa kesuksesan bukan tentang puncak yang diraih, tetapi tentang proses yang dijalani dengan penuh dedikasi dan cinta kepada sesama.
Menjadi Lentera di Tengah Kegelapan
Andika Wibawa Sepulau Raya adalah nama yang diharapkannya menggema tidak hanya sebagai politisi, tetapi sebagai simbol harapan bagi Provinsi Lampung. Dengan dedikasi pada rakyat, inspirasi dari sang ayah, dan kebijaksanaan yang ia pelajari dari para mentor, ia menyalakan lentera di tengah kegelapan.
Di setiap jejak langkahnya, ada kisah tentang keberanian, pengabdian, dan impian yang tak pernah padam. Andika adalah sebuah cerita tentang bagaimana seseorang bisa bertransformasi, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk dunia yang lebih baik seperti bintang di langit yang memandu pelaut di lautan kehidupan.** (Misaf Khan)