Empat hari kemudian.
Ayah dan ibu Lanai tiba di rumah sakit dengan langkah terburu-buru. Kalau kaki mereka bisa ngomong, mungkin mereka akan protes dan bilang, “Hei, slow motion dikit napa, ini bukan lomba lari estafet!”
Begitu sampai, ibu langsung berlari memeluk Lanai. Pelukan super hangat. Kalau pelukan bisa bikin kenyang, Lanai mungkin sudah nggak butuh makan malam.
“Bagaimana kondisimu, Nak?” tanya ibu dengan wajah cemas.
Lanai mencoba tegar. Ia jawab, “Seperti kemarin-kemarin, Bu.” Kalau kondisi Lanai bisa jawab sendiri, mungkin dia akan bilang: “Masih begini aja, kok. Nggak upgrade, nggak downgrade.”
Ayah duduk di sebelahnya. Nenek cuma berdiri sambil diam. Mungkin nenek lagi mikir, “Duh, ini momen sedih, tapi kok perut pengen ngemil gorengan.” Mikirin hal itu, Lanai malah senyum-senyum sendiri.
Tengah malam.
Ibu terbangun dan mendekati Lanai yang pura-pura tidur. Ibu mengelus kepala Lanai sambil nangis. Air matanya jatuh satu-satu, kayak hujan gerimis yang belum jadi badai.
“Anakku, kalau umurmu tinggal satu tahun lagi, ibu ikhlas…”
Lanai dalam hati mau protes: “Bu, kita jangan ngomong soal batas kadaluarsa, dong. Aku ini anak, bukan susu kotak.”
Tapi dia cuma diam. Air matanya ikut keluar. Kalau air mata ini balapan sama punya ibu, pasti hasilnya seri.
Seminggu kemudian.
Akhirnya Lanai diizinkan pulang. Hore! Kalau hatinya punya tombol ‘skip’, dia pasti sudah nge-skip bagian rumah sakit dari dulu.
Di rumah, suasana hangat. Obrolan santai dimulai. Ibu kasih nasihat sambil ngasih “checklist” panjang.
“Obat diminum, istirahat cukup, jangan banyak main, harus bantu nenek…”
Lanai mengangguk. Dalam hati, dia mikir: “Bu, ini nasihat atau skripsi? Banyak amat!”
Begitulah ibu, di balik sorot matanya yang adem, selalu tersimpan kekhawatiran untuk anak-anaknya. Termasuk Lanai. Teringat pesan ibu, Lanai langsung bergumam, “Ibu kasih nasihat banyak banget, sampai aku bingung ini nasihat atau resep kue.”
Saat berpamitan.
Ayah dan ibu mau pulang ke kampung. Lanai melambai sambil menahan tangis. Kalau rindu itu bisa diukur, mungkin rindu Lanai udah nyentuh level “meledak”.
“Aku pengen ikut pulang…” kata Lanai terbata-bata.
Ayah menjawab lembut, “Kesehatanmu lebih penting, Lanai.”
Dalam hati Lanai nyengir: “Iya, tahu, Yah… Tapi kan aku juga butuh paket ‘Healing: Versi Kampung’.”
Malam hari.
Lanai rebahan sambil menatap langit-langit kamar. Kalau langit-langit itu bisa diajak ngobrol, mungkin mereka udah jadi sahabat curhat.
“Aku punya Tuhan yang menyayangiku!” bisik Lanai penuh semangat.
Dan di sela-sela itu, dia kepikiran Mahali. Anak laki-laki kurus yang entah kenapa selalu muncul di pikirannya. Kalau Mahali tahu, mungkin dia bakal bilang: “Ngapain juga gue nongkrong di pikiran lo?”
“Mungkin suatu hari aku bisa berlindung di balik teduh matanya,” gumam Lanai.
Kalau Mahali dengar ini, dia mungkin bingung: “Mata gue teduh? Emang gue pohon mangga?”
Malam itu, Lanai tersenyum. Keyakinannya tumbuh. Kalau hidup ini ujian, berarti Lanai harus siap naik kelas. Asalkan jangan ada soal Matematika, karena rindu aja udah bikin dia sibuk berhitung. Batinnya berbisik, “Kalau rindu itu bisa dijual, mungkin aku udah jadi juragan rindu sekarang.”(bersambung)
1 Komentar
Menarik ceritanya