Namaku Mahali, tapi bukan Mahalini. Jangan buru-buru menilai. Aku bukan berasal dari Bali, tapi dari Selatan Sumatera. Tapi cerita di balik namaku ini agak tragis sekaligus lucu lho. Kata Bapak, waktu aku lahir, harga kebutuhan pokok lagi melambung tinggi. Beras mahal, susu lebih-lebih. Ibu bilang, air tajin jadi pengganti susu di rumah. Warnanya mirip, rasanya? Seperti harapan palsu. Dari situ, Bapak memberi nama “Mahal” dan menambahkan huruf i. Katanya biar kesannya lebih elegan. Hasilnya? Aku jadi Mahali. Elegan nggak, unik iya.
Soal panggilan, ini lebih rumit dari rumus matematika. Ibu memanggilku Ali, katanya biar seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib—pemimpin bijaksana, penuh karisma. Tapi di sekolah, aku dipanggil Maha. Teman-teman bilang itu lebih keren, walaupun aku curiga, mereka cuma malas menyebut nama lengkapku. Jadi begini aturan mainnya: kalau ada yang panggil aku Ali, berarti dia tetangga. Kalau Maha, pasti teman sekolah. Kalau keduanya? Wah, itu ibu-ibu tetangga yang anaknya juga sekelas sama aku.
Fisikku? Ya, lumayan lah. Tidak tampan, tidak juga memprihatinkan. Kata orang, aku itu “aman secara visual.” Badanku kurus, rambut ikal, tinggi pas-pasan. Ciri khasku adalah bibir yang entah kenapa selalu setengah terbuka, seolah-olah aku sedang menunggu sesuatu. Untung kulitku cerah, jadi kalau difoto, setidaknya aku terlihat jelas.
Pindah ke rumah baru berarti segalanya baru: lingkungan baru, sekolah baru, bahkan musuh baru. Untung aku bertemu Andi, tetangga yang jadi sahabatku. Andi ini unik. Anak orang kaya, tapi nggak sombong. Dia tipe yang kalau jalan-jalan ke mal, nggak lupa balik ke rumah. Wajahnya oval, kulitnya sedang—tidak putih, tidak gelap. Hidungnya mancung banget. Kalau ada lomba hidung terbaik, dia pasti menang dengan skor telak.
Yang lucu, Andi ini punya gitar akustik mahal yang digantung di kamarnya. Merek terkenal lagi. Tapi jangan salah. Dia nggak bisa main gitar sama sekali. Aku pernah tanya, “Ngapain punya gitar mahal kalau nggak bisa main?” Dia jawab santai, “Buat gaya aja, Li. Hidup ini kadang cuma tentang pencitraan.” Kata-katanya bikin aku sadar, aku memang butuh teman kayak dia—bukan karena bijaksana, tapi karena kocak.
Andi juga hobi olahraga. Dia suka voli, pingpong, dan sepeda. Aku? Jangan tanya. Olahraga dan aku seperti mantan—tidak pernah benar-benar cocok. Tapi gara-gara Andi, aku sering dipaksa ikut main. Pernah suatu kali, waktu latihan voli, aku disuruh serve. Hasilnya? Bola malah nyasar ke kepala teman. Itu nggak cuma sekali. Sampai pelatih frustrasi dan bilang, “Mahali, serve itu ke lawan, bukan ke korban.”
Tapi ya, begitulah hidupku. Aku Mahali, anak biasa dengan kisah yang kadang bikin orang ketawa. Kalau hidupmu lagi berat, ingatlah, ada aku yang berjuang serve bola voli tapi malah jadi atlet lempar kepala.